Rutinitas Kegiatan DPRD Tuba Diduga Faktor Pemicu Pemborosan Anggaran.

TIRASPOST.COM, TULANG BAWANG – Meski kualitas perencanaan dan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah membaik, masih ditemukan pemborosan dalam pembelanjaan di sekretariat DPRD Kabupaten Tulang Bawang (Tuba), Provinsi Lampung.

Pola-pola lama berupa pengulangan penganggaran pengadaan proyek, acara mubazir, hingga perjalanan dinas luar daerah – kegiatan kunjungan kerja luar daerah yang tak bermanfaat muncul saat penganggaran.

Pemborosan itu terlihat khususnya pada APBD 2019 ini, berdasarkan analisa data yang diperoleh dari berbagai sumber, diduga dari keseluruhan anggaran paket belanja dan berbagai kegiatan sekretariat DPRD Tuba Rp. 45,691 Miliar terdapat inefisiensi.

Pemborosan itu diantaranya diduga berupa program yang didesain dengan anggaran yang melebihi standar, duplikasi program, dan ketidak-sesuaian antara tugas pokok dan fungsi sekretariat DPRD Tuba.

Dari anggaran sebanyak Rp. 45,691 Miliar yang diduga melebihi standar tersebut khususnya yang dialokasikan untuk 174 kegiatan swakelola Rp25,852 miliar, dalam rincian untuk keperluan belanja Perjalanan Dinas Luar Daerah – Kegiatan kunker pimpinan dan Anggota dalam rangka masalah pendapatan dan pembangunan daerah Rp2.214.000.000, Honorarium Pegawai Honorer/Tidak Tetap Rp1.305.525.000, Belanja Jasa Publikasi Rp3.367.725.000, Belanja Publikasi – Fasilitasi Peliputan dan Publikasi Kegiatan DPRD Tuba Rp850.000.000, Belanja Materai Rp834.000.000 dinilai terlalu mahal.

Bukan itu saja, anggaran makanan dan minuman serta snack untuk pegawai, rapat dan untuk tamu sekretariat DPRD Tuba ini juga total biaya yang disiapkan Rp4,3 Miliar lebih, dengan rincian: untuk keperluan Belanja Makanan Dan Minuman Tamu di Bagian Persidangan dan Protokol Rp. 199.970.000, Bagian Hukum Dan Perundang-Undangan Rp. 199.970.000, Bagian Keuangan Rp. 199.970.000, Bagian Umum Rp. 199.970.000, Makan Tamu Ketua Di Rumah Dinas Rp. 199.970.000, Tamu Komisi Rp. 199.970.000, Tamu Pimpinan Rp. 199.970.000.
Selain itu untuk Belanja Makanan dan Minuman untuk Rapat di Fraksi 7(Tujuh) Fraksi Rp. 199.800.000, Panitia Khusus Rp. 199.800.000, Paripurna /Pleno Rp. 199.800.000, Panitia Musyawarah Rp. 199.800.000, Komisi I S/D IV Rp. 199.800.000, Panitia Anggaran Rp. 199.800.000. Kemudian untuk Belanja Snack Untuk Rapat Panitia Anggaran Rp. 199.840.000, Panitia Khusus Rp. 199.840.000, Komisi I S/D IV Rp. 199.840.000, Panitia Musyawarah Rp. 199.840.000, Panitia Musyawarah Rp. 199.840.000, Paripurna /Pleno Rp. 199.840.000, Fraksi 7(Tujuh) Fraksi Rp. 199.800.000, serta Snack Tamu Pimpinan Rp. 199.970.000 dan Tamu Komisi Rp199.970.000.
Tentunya alokasi anggaran diatas tersebut terlalu mahal, sehingga dinilai itu pemborosan dan sangatlah tidak adil. Pembagian anggaran seperti ini bisa menyakitkan hati rakyat.

Pasalnya, sekretariat DPRD Tuba mengalokasian APBD lebih banyak tersedot untuk belanja rutin dari pada pembangunan. hal ini menunjukkan bahwa orientasi pihak sekretariat DPRD Tuba lebih mengutamakan kepentingan belanja aparat dibanding untuk pembangunan rakyat.

Seperti banyaknya dana yang dianggarkan untuk belanja barang, makan dan minum, pemeliharaan rutin serta perjalanan dinas maupun perjalanan dinas luar daerah di sekretariat DPRD Tuba. Hal ini, diduga sengaja diciptakan dengan kreatif untuk menambah pundi oknum pejabat sekretariat DPRD tersebut.

Kemudian, diduga penyimpangan ini terjadi mulai dari penyusunan APBD yang kurang melibatkan partisipasi masyarakat, prosentase belanja rutin yang lebih membengkak daripada belanja pembangunan, serta pengalokasian pos anggaran yang banyak menyimpang dari peraturan yang telah ditetapkan.

Selain itu juga persoalan yang turut memberikan kontribusi terhadap merebaknya perilaku korupsi di APBD adalah tertutupnya akses informasi yang berkaitan dengan dokumen APBD, sehingga luput dari pengawasan publik.

Kenyataan ini sering terjadi, karena aparat masih memegang paradigma bahwa dokumen APBD adalah sesuatu yang sifatnya adalah rahasia negara dan tidak semua orang bisa mengakses informasi tersebut. Ironisnya, masyarakat tidak pernah diberi kesempatan untuk mempelajari dan menganalisis berbagai kebijakan yang dibahasakan dalam bentuk anggaran.

Akibatnya, masyarakat mengalami kesulitan dalam setiap mendapatkan informasi yang berkaitan dengan anggaran publik. Padahal, seharusnya APBD merupakan data terbuka yang dapat diketahui masyarakat. ( TIM ).

Pos terkait