Oleh : Chaidir
Pemimpin Redaksi SKM Grakpedia
Setelah mengikuti perkembangan pemberitaan terkait pelaporan yang dilakukan Kepala Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 4 Kota Metro, Ni Made Noviani, nampaknya arah bola sudah mulai terlihat jelas. Poinnya adalah persoalan pemberitaan yang diduga melenceng dari Kode Etik Jurnalistik Indonesia.
Namun yang menjadi kejanggalan adalah kenapa Kepala SMA Negeri 4 Kota Metro itu justru melaporkan akun Facebook berinsial FG ke Mapolres Metro, bukannya melaporkan narasumber berita atau redaksi yang memuat beritanya.
Terlapor diadukan lantaran telah menyebarluaskan konten atas tudingan pemberitaan terkait korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang katanya tanpa adanya konfirmasi, koreksi dan hakjawab, yang didasarkan kepada amanah Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 dan Pedoman Media siber sebagai pedoman jurnalis tugasnya dilapangan untuk menghasilkan karya jurnalistik yang profesional dan proporsional.
Aksi pelaporan akun Facebook inilah yang sejatinya menggambarkan bagaimana tendensius dalam arogansinya Kepala SMA Negeri 4 Kota Metro dalam menyikapi persoalan pemberitaan yang melibatkan dirinya.
Sebab, seorang wartawan dalam menjalankan aktifitas jurnalistiknya telah mendapat jaminan perlindungan hukum sesuai amanat Pasal 8, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Selain itu, setiap produk jurnalistik yang disebarluaskan oleh wartawan menjadi tanggung jawab sepenuhnya redaksi pemuat berita.
Kepala SMA Negeri 4 Kota Metro harus jelas soal ini, apakah ini pelaporan pribadi karena ulah pribadi atau karena isi pemberitaan.
Sebab pelaporan yang dilakukan itu menjadi tindakan tak konsisten dengan tuduhan semula. Karena jika merunut keberatan yang disampaikan maka otomatis akan terkait dengan dunia kewartawanan.
Selanjutnya soal delik pencemaran nama baik. Rasanya terkesan delik ini sangat dipaksakan. Sebab, mencemarkan nama baik biasanya terkait dengan pernyataan kebohongan. Misal si A adalah B, padahal sebenarnya si A adalah C. Si A melakukan B, padahal si A tak melakukan B.
Artinya, caption yang diunggah pemilik akun harus mengandung kebohongan. Jika dianggap melakukan penggiringan opini publik, maka akan sangat sulit ditemukan fakta fundamentalnya.
Apakah ada istilah penggiringan opini publik dalam kamus delik hukum yang ada? Di dalam UU ITE misalnya atau di dalam KUHP, rasanya akan sangat sulit ditemukan pasal yang persis membahas penggiringan opini publik.
Jika ada pernyataan narasumber yang dianggap salah, atau menuduh, atau berbohong, lantas diberitakan atau dikutip di dalam unggahan sosial media, maka narasumber saja yang layak digugat.
Jika isi pemberitaan atau isi link yang diunggah memenuhi standar jurnalistik, maka jika jurnalisnya, atau siapapun yang membagikannyanya semestinya tak perlu digugat. Cukup narasumber yang dianggap telah berbohong.
Namun dalam ketentuan umum Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, dalam poin 10, disebutkan jika hak tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.
Didukung dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, poin ke 4 yang berbunyi jika dalam mempertanggung jawabkan pemberitaan didepan hukum, wartawan mempunyai hak tolak.
Kemudian terkait dengan tuduhan dari Kepala SMA Negeri 4 Kota Metro yang menyebut jika berita yang diterbitkan tidak berimbang, tanpa ada hak jawab, hak koreksi dan klarifikasi kepada pihak sekolah, sehingga tidak sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.
Sedikit meluruskan jika dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, poin 3 dan 4, disebutkan jika Pers wajib melayani hak jawab dan hak koreksi, artinya apakah selama terbitnya pemberitaan dimaksud pihak sekolah sudah pernah melayangkan hak jawabnya atau hak koreksinya.
Jika tidak pernah, lantas bagaimana bisa disebutkan jika pihak redaksi tidak berimbang dalam memuat pemberitaannya.
Selain itu yang harus juga dipahami oleh Kepala SMA Negeri 4 Kota Metro adalah Pers nasional melaksanakan peranan dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan; Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Begitupun soal tolakan untuk datang menemui sumber berita secara langsung, dengan alasan keamanan, seorang wartawan dapat menolak tawaran tersebut, sebab hak untuk memberikan klarifikasi, hak jawab atau hak koreksi dapat dilakukan dengan berbagai macam metode yang tidak memberatkan, contohnya dengan menyampaikan surat tertulis.
Artinya jika Kepala SMA Negeri 4 Kota Metro, mengatakan jika isi pemberitaan tidak benar, seharusnya bisa memberikan fakta maupun menyajikan data yang dianggap benar. Bukan malah mengaburkan fakta objektif menjadi delik yang cenderung merugikan wartawan dan mengarah kepada pembredelan.
Fakta opini yang ditulis media, di-caption di sosial media, selama sumbernya jelas, maka akan kembali kepada narasumbernya sebagai asal dari pernyataan yang dianggap bohong tersebut. Nah, dengan logika tersebut, mempersoalkan caption sosial media dengan tuduhan mencemarkan nama baik, harus ditemukan unsur-unsur fundamentalnya, bukan unsur penggiringan opini publik.
Di ruang publik, siapapun yang memenangkan opini, baik digiring ataupun tidak, tidak perlu digugat. Karena yang dimenangkan hanyalah opini, semua orang boleh saja ikut atau menolaknya. Jika Kepala SMA Negeri 4 Kota Metro mengganggap caption adalah bagian dari penggiringan opini publik, maka harus melawan dengan opini.
Kepala SMA Negeri 4 Kota Metro tidak bisa memaksakan opini untuk sesuai dengan keinginannya. Terlalu naif rasanya jika kepala sekolah itu sampai ingin menguasi opini dan isi kepala masyarakat, apalagi mengajarkan tentang bagaimana cara menanam opini di dalam kepala masing-masing dari kita.
Jadi jika demikian, persoalannya bisa menjadi sangat luas. Bukan saja kompetensi jurnalis yang ingin digiring oleh kepala sekolah itu, tapi bagaimana cara memiliki opini di dalam otak kitapun kemudian akan ditata sesuai keinginannya. Pertanyaan penutupnya, lantas otak kita ini punya siapa? Semoga bukan punya Kepala SMA Negeri 4 Kota Metro. (*)